
Persembahan Air dalam Buddhis Mahayana
Di samping dupa, lilin, bunga, dan buah, air juga menjadi salah satu persembahan utama dalam tradisi Buddhisme Mahayana. Meskipun sederhana, persembahan air memiliki makna simbolis yang mendalam dan menyentuh aspek batin umat.
Pertama, air melambangkan kemurnian. Air yang jernih dan bersih menjadi simbol batin yang terbebas dari noda kekotoran batin seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Dengan mempersembahkan air, umat mengekspresikan tekad untuk menjaga hati agar tetap murni, jernih, dan tenang, sehingga mampu memantulkan cahaya kebijaksanaan Dharma.
Kedua, air mencerminkan ketulusan dan kesederhanaan. Tidak seperti benda-benda mewah, air adalah sesuatu yang mudah dijumpai, murah, dan universal. Justru kesederhanaan inilah yang membuatnya begitu bermakna. Persembahan air mengingatkan bahwa yang terpenting dalam memberi bukanlah besar kecilnya bentuk materi, melainkan ketulusan hati di balik persembahan itu.
Ketiga, air juga melambangkan penyegaran dan kesejukan batin. Seperti air yang menyejukkan dahaga, demikian pula Dharma memberi kesejukan bagi hati yang gersang oleh penderitaan. Air persembahan menjadi simbol aspirasi agar Dharma selalu hadir menyegarkan hidup umat, menumbuhkan welas asih, serta membawa kedamaian bagi semua makhluk.
Dalam praktik sehari-hari, umat biasanya mempersembahkan segelas atau semangkuk air bersih di altar. Ada pula tradisi menata tujuh mangkuk air di altar, yang masing-masing memiliki simbolisme khusus, mulai dari menyambut tamu agung hingga melambangkan anugerah Dharma. Semua itu pada dasarnya adalah bentuk penghormatan sekaligus pengingat untuk senantiasa memurnikan hati.
Dengan demikian, persembahan air dalam Buddhisme Mahayana bukan sekadar ritual sederhana. Ia adalah lambang kemurnian batin, ketulusan dalam memberi, dan aspirasi untuk selalu menghadirkan kesejukan Dharma dalam kehidupan. Setiap tetes air di altar sejatinya adalah tetes tekad umat untuk hidup murni, jernih, dan penuh welas asih.