
Persembahan Bunga dalam Buddhis Mahayana
Dalam tradisi Mahayana, bunga merupakan salah satu persembahan utama yang diletakkan di altar bersama dupa, lilin, dan pelita. Walaupun sederhana, bunga memiliki simbolisme yang dalam dan penuh makna spiritual.
Pertama, bunga melambangkan ketidakkekalan (anicca). Bunga yang segar dan indah pada awalnya, lambat laun akan layu dan gugur. Ini menjadi pengingat bagi umat bahwa semua hal yang kita anggap indah dan menyenangkan pada akhirnya akan berubah dan sirna. Dengan menyadari ketidakkekalan ini, umat dilatih untuk tidak melekat berlebihan pada dunia yang fana, serta belajar menerima perubahan dengan hati yang lapang.
Kedua, bunga adalah simbol kebajikan dan karma baik. Sama seperti bunga yang tumbuh dari akar yang sehat dan perawatan yang baik, demikian pula kebajikan lahir dari pikiran, ucapan, dan perbuatan yang penuh kesadaran. Persembahan bunga menjadi tekad umat untuk senantiasa menumbuhkan akar kebaikan dalam hidup sehari-hari.
Ketiga, bunga juga melambangkan jalan spiritual menuju pencerahan. Dalam Mahayana, bunga teratai (padma) sangat diagungkan karena tumbuh di lumpur namun tetap indah dan murni. Ini menjadi simbol bagaimana seorang praktisi Dharma dapat menjalani kehidupan duniawi dengan segala tantangan, tetapi tetap menjaga kemurnian batin dan mengembangkan kebijaksanaan.
Selain itu, mempersembahkan bunga di altar adalah bentuk rasa syukur dan penghormatan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha. Umat menyadari bahwa segala sesuatu yang indah pada dasarnya berasal dari kebajikan dan bertekad untuk mempersembahkan keindahan itu kembali demi kebaikan semua makhluk.
Dengan demikian, bunga dalam persembahan Mahayana bukan sekadar hiasan altar, melainkan sebuah pengingat yang hidup akan ketidakkekalan, kebajikan, kemurnian batin, serta tekad menuju pencerahan. Setiap kali menata bunga di altar, sejatinya umat menata batinnya sendiri: agar senantiasa indah, murni, dan bermanfaat bagi semua makhluk.